Senin, 03 November 2008

Ukhuwah Nahdliyah sebagai Modal bagi Ukhuwah Wathoniyah

Diam-diam bangsa kita saat ini mengalami keretakan. Hal itu tidak hanya diwakili oleh partai-partai politik yang puluhan jumlahnya. Tetapi ketegangan itu juga ditunjukkan munculnya berbagai organisasi sosial maupun keagamaan yang berlainan ideologi. Kelihatan di permukaan mereka rukun, tetapi membawa potensi konflik ketika masing-masing telah mengkonsolidasi diri.

Sementara itu kehidupaan sosial kelihatan sangat cair, begitu pula ideologi politik partai-partai yang ada juga sangat cair. Pemerintah sendiri juga sangat tidak memiliki karakter. Di tengah kehidupan dunia yang sangat cair dan semua organisasi juga sangat cair. Kelihatan NU sendiri juga mengalami proses pencairan yang meluas. Tidak adalagi rasa solidaritas kelompok.

Pertama hal itu didorong oleh semangat pluralis, tetapi pluralisme tanpa pegangan itu menjadi pluralisme yang tanpa watak, tanpa sikap dan tanpa pendirian, sehingga menjadi pluralisme dan moderasi yang gamang.

Padahal ketika semuanya cair, menjadikan semuanya lebur dalam ketiadaan dan mengalami peniadaan diri. dalam situasio semacam itu kalau NU tidak melakukan konsolidasi justeru malah mencairkan diri, maka NU tidak hanya akan kehilangan peran, tetapi juga akan kehilangan jati diri. Karena itu konsolidasi menjadi sangat mendesak dilakuakan dengan mempererat Ukhuwah
Nahdliyah, persaudaraan antar warga NU.

Adanya ukhuwah Nahdliyah yang kuat yang dibangun melalui berbagai silaturrahmi, dengan melaksanakan berbagai mekanisme ubudiyah kejamaahan serta melakukan berbagai bentuk kerjasama konkret. Kerjasama ini tidak boleh dilandasi semangat komersial, tetapi perlu dilandasi perasaan persahabatan, sehingga yang terjadi kerjasama, persahabatan bukan persaingan.

Penguatan ukhuwah nahdliyah itu akan menjadikan NU solid, sementara dengan soliditas itu NU bisa mengambil peran sangat besar sebagai penyangga keutuhan bangsa yang mulai retak-retak ini. Tetapi membangun ukhuwaah itu sendiri juga tidak mudah, mengingat dalam tubuh NU sendiri juga mengalami keretakan. Kalau hal itu tidak segera dirajut melalui berbagai bentuk silaturrahmi, maka keretakan itu akan merebak menjadi konflik, antara kelompok yang terlanjur maju dengan kelompok yang berusaha mempertahankan kekhasan lama, dan dengan kelompok yang berusaha berdiri di tengah, maju tetapi dengan mempertimbangkan tradisi lama.

Mestinya melalui halal bil halal hari raya Fitri ini, Ukhuwah Nahdliyah selayaknya dimulai, sehingga banyak hal bisa dilakukan bersama. Ini juga untuk menampik kesan bahwa saat ini NU kelihatan gerakannya tidak terorganisasi. Masing masing bersikap berdasarkan kepentingan sendiri, yang tidak mewakili kepentingan jamaah dan jam'iyah. Komersialisasi dan
politisasi NU saat ini menjadi keperihatinan di beberapa kalangan.

Pembangunan ukhuwah Islamiyah sendiri juga sangat tergantung terbentuknya Ukhuwah Nahdliyah, sebab ukhuwah tanpa adanya rasa percaya diri, dan identitas yang jelas, ukhuwah tidak memiliki arti yang terjadi adalah hegemoni atau ukhuwah kusir kuda. Ini ukhuwah yang eksploitastif, karena itu kiai Wahab Chasbullah memberi peringatan kesar pada nahdliyin agar tidak melakukan ukhuwah secara semnbarangan, sebelum membangun Ukhuwah Nahdliyah.

Apalagi tuntutan terhadap Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia) yang bersifat universal itu, kalau tidak dilandasi oleh ukhuwah nhdliyah kaum nahdliyin dan bangsa Indonesia ini akan lenyap dalam keseragaman universal. Ini yang sedang dialami oleh para aktivis sosial saat ini, termasuk di kalangan NU, yang kehilangan komitmen nasional dan kemitmen keislaman dan ke-NU-annya.

Itulah arti penting dari Ukhuwah Nahdliyah. Ini bukan sebuah fanatisisme tertutup, justeru sebagai modal untuk bergerak keluar, bisa melakukan sesuatu ketika memiliki karakter, sikap dan pendirian. (Abdul Mun'im DZ)

Tidak ada komentar: