Selasa, 20 Januari 2009

Hubbul Wathoni minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman)


Ini jawaban untuk mereka yg memaki-maki Hamas, menyalah-nyalahkan Hamas, dan mengatakan, “Perang ini adalah kesalahan Hamas! Mengapa Hamas nekad melemparkan roket ke Israel!”
Artikel di bawah ini ditulis oleh orang Yahudi Israel sendiri, dimuat di koran terkemuka Israel : Haaretz.
Buat Anda yang berkali-kali posting komen memaki-maki saya, saya sarankan, baca tulisan ini baik-baik (dan sori, saya tidak akan meloloskan komen murahan yang berisi caci-maki. Bila Anda kontra pada pendapat saya, silahkan sampaikan pendapat Anda sendiri dengan elegan dan sopan!). Orang Israel aja (sebagian) bisa mikir bahwa memang mereka sendiri yang salah kok, mengapa Anda malah membela Israel dan menyalah-nyalahkan Hamas?
***
History did not begin with the QassamsBy Amira Hass (Haaretz.com)
(diterjemahkan oleh Dina Y. Sulaeman; frasa dalam [...] adalah penjelasan dari Dina)
Sejarah tidak dimulai dengan roket Qassam. Tapi bagi kita, orang Israel, sejarah selalu dimulai ketika orang Palestina melukai kita dan kemudian luka itu dilepaskan dari konteksnya sama sekali. Kita berpikir bahwa bila kita menimbulkan luka yang lebih besar lagi di tubuh Palestina, mereka akhirnya akan belajar [untuk tidak melukai kita]. Sebagian orang menyebut hal ini sebagai ‘keberhasilan’.
Namun ‘pelajaran’ itu tetap abstrak bagi sebagian besar orang Israel. Media Israel memberitakan informasi yang minim, miskin kebenaran, serta penuh [cerita tentang] jenderal dan orang-orang sejenis mereka . Informasi itu tidak memberi kebanggaan bagi keberhasilan kita: anak-anak yang dibantai dan jasad-jasad yang terkubur di bawah puing-puing, orang-orang terluka yang mati kehabisan darah karena tentara kita menembaki kru ambulans, gadis kecil yang kakinya diamputasi karena lukanya sangat parah akibat [tembakan] berbagai jenis senjata, ayah yang hancur berlinangan air mata, pemukiman pendudukan yang hancur lebur, luka bakar mengerikan akibat fosfor putih [zat kimia yang dipakai pasukan Israel], dan ‘mini-transfer’—puluhan ribu penduduk yang sudah terusir dari rumah mereka dan masih terusir hingga kini, diperintahkan untuk tinggal berjejalan di sebuah area yang secara kontinyu semakin mengecil, dan berada di bawah hujan bom dan granat.
Sejak Otoritas Palestina didirikan, mesin PR (Public Relation) Israel membesar-besarkan bahaya ancaman militer yang ditimbulkan orang Palestina kepada kita. Ketika mereka berpindah dari [penggunaan] batu ke senapan, dari bom Molotov ke bom bunuh diri, dari bom jalanan ke Qassam, dari Qassam ke Grad [peluru kendali], dari PLO ke Hamas, kita berkata dengan nada menang, “Kami sudah bilang, kan? Mereka itu anti Yahudi.” Dan karena itu, kita berhak untuk bersikap buas.
Hal yang membuat militer Israel mampu melakukan kebuasannya –kata yang tepat tak saya temukan di kamus saya- adalah isolasi step-by-step Jalur Gaza. Isolasi itu membuat penduduk Gaza menjadi objek yang abstrak, tanpa nama dan alamat -selain alamat orang-orang bersenjata, dan tanpa sejarah sejak hari yang ditetapkan oleh agen keamanan Shin Bet.
Pengepungan Gaza tidak dimulai ketika Hamas menguasai organ keamanan di sana, atau ketika Gilad Shalit ditawan, atau ketika Hamas terpilih dalam pemilu demokratis. Pengepungan itu dimulai th 1991-sebelum ternjadi bom bunuh diri. Dan sejak itu, proses pengepungan menajdi semakin canggih dan mencapai puncaknya tahun 2005.
Mesin PR Israel dengan gembira menampilkan proses penarikan pasukan [thn 2005] sebagai berakhirnya pendudukan, tanpa tahu malu menutupi fakta sesungguhnya. Isolasi dan penutupan [Gaza] disebut-sebut sebagai ‘keperluan militer’. Tapi kita adalah gadis dan bujang yang sudah besar, dan kita paham bahwa ‘keperluan militer’ dan kebohongan yang terus-menerus itu demi mecapai tujuan negara. Tujuan Israel adalah untuk menggagalkan ‘solusi dua negara’ yang diharapkan dunia sejak Perang Dingin berakhir tahun 1990. Ini bukanlah solusi yang sempurna, tapi orang Palestina akhirnya bersedia menerimanya.
Gaza bukanlah kekuatan militer yang menyerang tetangganya yang kecil dan pencinta damai, Israel. Gaza adalah wilayah yang dijajah Israel tahun 1967, bersama dengan Tepi Barat. Penduduknya adalah bagian dari bangsa Palestina, yang kehilangan tanah dan tanah airnya pada tahun 1948.
Pada tahun 1993, Israel memiliki kesempatan emas untuk membuktikan kepada dunia bahwa apa yang dikatakan orang tentang kita tidaklah benar, bahwa Israel bukan negara kolonialis. Bahwa pengusiran sebuah bangsa dari tanah air mereka demi pendirian [negara] Yahudi bukanlah basis dan inti dari keberadaan Israel. Pada tahun 1990-an [proses perundingan Oslo], Israel memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa [kejadian] tahun 1948 bukanlah paradigma Israel.
Tapi, Israel melepaskan kesempatan itu. Bahkan, Israel mempercanggih teknik perampokan tanah dan pengusiran orang-orang dari rumah mereka; dan mengepung orang-orang Palestina di wilayah yang terisolasi. Dan sekarang, selama hari-hari yang gelap ini, Israel sedang membuktikan bahwa 1948 tidak pernah berakhir.
Source : Dina Y. Sulaeman - Blog

Indonesia Berhutang Jasa Dengan Palestine


Kalau ada ribut-ribut di negara- negara Arab, misalnya di Mesir, Palestina, atau Suriah, kita sering bertanya apa signifikansi dukungan terhadap negara tersebut. Hari ini ketika Palestina diserang, mengapa kita (bangsa Indonesia) ikut sibuk?
Sebagai orang Indonesia, sejarah menjelaskan bahwa kita berhutang dukungan untuk Palestina dan negara arab lain.
Dari berbagai sumber yang diperoleh, Sukarno-Hatta boleh saja memproklamasikan kemerdekaan RI de facto pada 17 Agustus 1945, tetapi perlu diingat bahwa untuk berdiri (de jure) sebagai negara yang berdaulat, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain. Pada poin ini kita tertolong dengan adanya pengakuan dari tokoh tokoh Timur Tengah, sehingga Negara Indonesia bisa berdaulat.
Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc.
Kenapa Kita Memikirkan Palestina?
M. Zein Hassan Lc. Lt. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peranserta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia: pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan. Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat dinegeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.
Seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan mengalir, di jalan-jalan terjadi demonstrasi- demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur-Tengah khususnya Mesir. Shalat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer Belanda ke-1, 21 juli 1947, pada 9 Agustus. Saat kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said. Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir berkumpul di pelabuhan itu.
Mereka menggunakan puluhan motor-boat dengan bendera merah putih? tanda solidaritas- berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motor-motor- boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air & makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan.
Sekarang bagaimana rasannya saat melihat bendera kita di kibarkan oleh bangsa lain dengan kesadaran penuh menunjukan rasa solidaritasnya, karena mereka peduli Wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10/8/47 melaporkan: “Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu kejuruan lain.”
Tentu saja, motivasi yang kita bangun tidak hanya dari aspek historis, namun ini kita dapat ambil sebagai sebuah pelajaran untuk mengingatkan kembali betapa palestina pernah melakukan hal yang sama terhadap Indonesia. (jk/dak/sm/berbagai sumber/www.suara-islam.com)