Senin, 03 November 2008

Neo Wahabi bisakah seiring sejalan..?


Oleh Rizqon Khamami
 


Sejak bergulir Reformasi dapat kita tandai dengan adanya kebangkitan berbagai aliran gerakan. Tidak terkecuali Islam. Pada umumnya, gerakan-gerakan baru Islam ini mengusung faham Salafi. Tercatat sejumlah gerakan dalam aliran ini: Fron Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar Ahlussunah wal Jamaah, dan lain-lain. Beberapa di antaranya sudah membubarkan diri. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk kategori gerakan ini.

Bagaimana pengelompokan ini didasarkan? Dalam tradisi Islam, aliran Salafi mengacu pada pandangan madzhab salaf. Karakteristik menonjol aliran ini, di antaranya, seruan kembali ke Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan kecenderungan penafsiran secara tekstual dengan mengabaikan konteks, dan semangat meniru generasi salaf al-shalih yang dielu-elukan sebagai masa paling ideal.

Ibnu Taymiah dikenal sebagai penggagas awal teologi Salafi. Istilah Salafi, bisa dikatakan, muncul sejak Ibnu Taymiah ini. Kata “salafi” merujuk ke generasi salaf al-shalih. Sepeninggal Ibnu Taymiah, teologi Salafi makin berkembang. Beberapa kurun selanjutnya, di tanah Najd, Semenanjung Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab mengembangkan teologi Salafi dengan lebih spesifik dan makin tajam. Pengembangan teologi oleh Muhammad bin Abdul Wahab dikenal dengan aliran Wahabi. Bagi pengikut Wahabi, istilah ini terdengar kurang baik. Mereka lebih suka disebut pengikut Salafisme.

Pada awal abad 20, pemikiran Ibnu Taymiah dan Muhammad bin Abdul Wahab, sedikit banyak, menjadi pemantik pemikiran Muhammad Abduh. Berangkat dari perpaduan ajaran Ibnu Taymiah dan pencarian Muhammad Abduh, gerakan salafi lantas dikembangkan dengan lebih tertata melalui gerakan Ikhwanul Muslimin. Tokoh paling penting pemberi warna ideologi gerakan ini adalah Sayyid Qutub. Di kalangan islamisis (pakar kajian keislaman), pemikiran Sayyid Qutub disebut dengan istilah Salafi Modern.

Di Indonesia, pemikiran-pemikiran Salafi dibawa oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berdiri. Organisasi ini menyebut dirinya sebagai persyarikatan kaum Puritan Islam. Untuk pertama kali, dalam disertasi doktornya, Deliar Noer menyematkan Muhammadiyah sebagai gerakan Modernis. Sebuah istilah, yang saya duga, untuk menstigma organisasi sejawatnya, Nahdlatul Ulama (NU) agar identik dengan gerakan kampungan.

Hal menarik dari perjalanan Muhammadiyah, selama beberapa dasawarsa awal, organisasi ini lebih cenderung mengadopsi Salafisme Wahabi. Perubahan penting terjadi menjelang tahun 80-an beberapa saat setelah terjadi Revolusi oleh para mullah Syiah di Iran. Keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979 menciptakan kegairahan baru dunia Islam. Dimana-mana orang menganggap bahwa Revousi ini adalah awal dari kebangkitan dunia Islam yang selama beberapa abad mengalami kemunduran. Muslim Indonesia tidak terkecuali. Meski Revolusi itu terjadi di Iran, tetapi Ikhwanul Muslimin, yang bersumber di Mesir, mendapat berkah. Ikhwanul Muslimin mendadak populer. Di Indonesia, terjemahan buku-buku Sayyid Qutub laris. Apa sebab? Bagi kalangan Muslim Indonesia, pemikiran Sayyid Qutub lebih bisa diterima, karena sama-sama Sunni. Selain itu, Sayyid Qutub mampu meramu pemikirannya dengan amat tertata. Bersamaan dengan tren ini, Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Salafi Modern. Sebuah pemikiran yang lebih moderat dibanding Salafi Wahabi. Apa alasannya? Wahabi gampang menyalahkan dan membid’ahkan kaum Muslim yang tidak sepaham. Saya kurang sepakat dengan pendapat Karen Armstrong yang menyatakan bahwa Qutubisme (merujuk ke pemikiran Sayyid Qutub) lebih radikal dibanding Wahabi, seperti tulisannya di The Guardian, 11 Juli 2005. Yang lebih tepat, sebaliknya.

Pilihan Muhammadiyah ini tidak terlepas dari peran anak-anak muda kala itu. Kemunculan tokoh seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi’I Maarif, Affan Ghafar, Syafiq Mughni, M Amin Abdulla, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman -–untuk menyebut beberapa nama saja-- adalah penanda kebangkitan Muhammadiyan baru. Di tangan mereka, Muhammadiyah menjadi organsisasi Islam moderat dan makin disegani. Diperkuat lagi dengan akomodasi politik Suharto dalam perlakuannya terhadap organisasi-organisasi Islam, dengan memanjakan organisasi Islam Puritan ini. Wajah keras Wahabisme di tangan mereka perlahan luntur. Apa buktinya? Perang TBC (Taqlid, Bid’ah & Churafat) yang selama bertahun-tahun menjadi agenda utama, perlahan-lahan mereda. Bahkan beberapa tahun lalu, sebagian warga Muhammadiyah mulai mempertanyakan keefektivan cara dakwah “keras” ini. Mereka mengusulkan dakwah kultural, yang tidak lagi dengan gampang menyebut orang lain bid’ah hanya karena berdakwah dengan pendekatan budaya setempat. Di tangan tokoh-tokoh moderat ini pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak serta merta dijiplak utuh. Mereka membuang jauh-jauh ide pan-Islamisme, mengambil hanya sisi pemikiran gerakan sosialnya. Suatu saat, Amien Rais mengatakan: Tidak ada negara Islam.

Apakah usaha mereka berhasil? Selama beberapa dekade, iya. Namun, di tataran massa Muhammadiyah, kegandrungan pada pemikiran Sayyid Qutub tidak hanya terbatas pada pemikiran sosialnya, tetapi juga pada politisnya. Pada saat suara-suara warga ini tidak ditampung oleh elit-elit Muhammadiyah, mereka lebih memilih bermain di luar area. Gerakan usroh, tarbiyah, halaqah, dan sejenisnya, yang menjamur di lingkungan kampus dan masjid, merupakan bentuk luapan kegelisahan anak-anak muda dan suara protes tidak langsung. PKS berkembang dari gerakan protes ini.

Di samping itu, kepulangan para veteran perang Afghanistan pasca kejatuhan Uni Soviet memberi warna baru. Persentuhan langsung dengan para pejuang dari negara lain selama perang pembebasan Afghanistan makin memperteguh Wahabisme mereka. Pengalaman tempur di medan perang menambah keyakinan bahwa otot dan senjata menjadi identitas baru. Sebuah identitas kekerasan.

Akan tetapi, sekembali mereka di Tanah Air, ide Wahabisme yang mereka bawa tidak diberi tempat oleh elit Muhammadiyah kala itu. Mereka lantas mendirikan atau berkumpul dalam organisasi-organisasi baru, seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir. Organisasi ini adalah diantara organsisasi yang menjadi pilihan warga Muhammadiyah yang menganggap organisasi ini terlalu lembek dalam menyuarakan kepentingan baru mereka. Bahkan, dalam kaitan dengan Syariat Islam, Muhammadiyah pernah dituduh sebagai banci oleh warganya yang radikal. Dulu, warga Muhammadiyah garis kanan, seperti Ali Imran, Amrozi, Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Baasyir, tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. (Ahmad Najib Burhani, Menebak Masa Depan Liberalisme di Muhammadiyah, Islam Progresif, message no. 1519). Mereka inilah Neo-Wahabi itu, gerakan Wahabi baru yang dipadu dengan kemampuan tempur yang dibawanya ke tengah-tengah masyarakat.

Kini, sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 3-8 Juli 2005, para veteran itu sudah kembali menguasai Muhammadiyah. Tokoh-tokoh moderat tersingkir. MUI pun sepertinya sudah mulai direngkuhnya. Apa indikasinya? Fatwa-fatwa keluaran MUI baru-baru ini terlihat memiliki kesan terwarnai oleh tangan-tangan Neo-Wahabi tersebut. Mereka mengagungkan teks secara berlebihan dengan mengabaikan konteks Mereka mudah membid’ahkan dan mensesatkan segala bentuk perbedaan. Gampang menyerbu bukan kelompok sepaham, tanpa toleransi. Gampang mencibir kalangan Islam yang bukan pengikut mati generasi salaf al-shalih. Kata-kata “bid’ah”, “kafir”, “musuh Islam”, “penghancur Islam dari dalam”, dan seterusnya, mudah menjadi ungkapan harian.

Dengan kebangkitan Neo-Wahabi ini, kita bisa menebak arah perjalanan Islam Indonesia ke depan. Wajah Islam Indonesia mulai memunculkan ketidak-ramahan. Akankah semua ini dibiarkan?

Ukhuwah Nahdliyah sebagai Modal bagi Ukhuwah Wathoniyah

Diam-diam bangsa kita saat ini mengalami keretakan. Hal itu tidak hanya diwakili oleh partai-partai politik yang puluhan jumlahnya. Tetapi ketegangan itu juga ditunjukkan munculnya berbagai organisasi sosial maupun keagamaan yang berlainan ideologi. Kelihatan di permukaan mereka rukun, tetapi membawa potensi konflik ketika masing-masing telah mengkonsolidasi diri.

Sementara itu kehidupaan sosial kelihatan sangat cair, begitu pula ideologi politik partai-partai yang ada juga sangat cair. Pemerintah sendiri juga sangat tidak memiliki karakter. Di tengah kehidupan dunia yang sangat cair dan semua organisasi juga sangat cair. Kelihatan NU sendiri juga mengalami proses pencairan yang meluas. Tidak adalagi rasa solidaritas kelompok.

Pertama hal itu didorong oleh semangat pluralis, tetapi pluralisme tanpa pegangan itu menjadi pluralisme yang tanpa watak, tanpa sikap dan tanpa pendirian, sehingga menjadi pluralisme dan moderasi yang gamang.

Padahal ketika semuanya cair, menjadikan semuanya lebur dalam ketiadaan dan mengalami peniadaan diri. dalam situasio semacam itu kalau NU tidak melakukan konsolidasi justeru malah mencairkan diri, maka NU tidak hanya akan kehilangan peran, tetapi juga akan kehilangan jati diri. Karena itu konsolidasi menjadi sangat mendesak dilakuakan dengan mempererat Ukhuwah
Nahdliyah, persaudaraan antar warga NU.

Adanya ukhuwah Nahdliyah yang kuat yang dibangun melalui berbagai silaturrahmi, dengan melaksanakan berbagai mekanisme ubudiyah kejamaahan serta melakukan berbagai bentuk kerjasama konkret. Kerjasama ini tidak boleh dilandasi semangat komersial, tetapi perlu dilandasi perasaan persahabatan, sehingga yang terjadi kerjasama, persahabatan bukan persaingan.

Penguatan ukhuwah nahdliyah itu akan menjadikan NU solid, sementara dengan soliditas itu NU bisa mengambil peran sangat besar sebagai penyangga keutuhan bangsa yang mulai retak-retak ini. Tetapi membangun ukhuwaah itu sendiri juga tidak mudah, mengingat dalam tubuh NU sendiri juga mengalami keretakan. Kalau hal itu tidak segera dirajut melalui berbagai bentuk silaturrahmi, maka keretakan itu akan merebak menjadi konflik, antara kelompok yang terlanjur maju dengan kelompok yang berusaha mempertahankan kekhasan lama, dan dengan kelompok yang berusaha berdiri di tengah, maju tetapi dengan mempertimbangkan tradisi lama.

Mestinya melalui halal bil halal hari raya Fitri ini, Ukhuwah Nahdliyah selayaknya dimulai, sehingga banyak hal bisa dilakukan bersama. Ini juga untuk menampik kesan bahwa saat ini NU kelihatan gerakannya tidak terorganisasi. Masing masing bersikap berdasarkan kepentingan sendiri, yang tidak mewakili kepentingan jamaah dan jam'iyah. Komersialisasi dan
politisasi NU saat ini menjadi keperihatinan di beberapa kalangan.

Pembangunan ukhuwah Islamiyah sendiri juga sangat tergantung terbentuknya Ukhuwah Nahdliyah, sebab ukhuwah tanpa adanya rasa percaya diri, dan identitas yang jelas, ukhuwah tidak memiliki arti yang terjadi adalah hegemoni atau ukhuwah kusir kuda. Ini ukhuwah yang eksploitastif, karena itu kiai Wahab Chasbullah memberi peringatan kesar pada nahdliyin agar tidak melakukan ukhuwah secara semnbarangan, sebelum membangun Ukhuwah Nahdliyah.

Apalagi tuntutan terhadap Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia) yang bersifat universal itu, kalau tidak dilandasi oleh ukhuwah nhdliyah kaum nahdliyin dan bangsa Indonesia ini akan lenyap dalam keseragaman universal. Ini yang sedang dialami oleh para aktivis sosial saat ini, termasuk di kalangan NU, yang kehilangan komitmen nasional dan kemitmen keislaman dan ke-NU-annya.

Itulah arti penting dari Ukhuwah Nahdliyah. Ini bukan sebuah fanatisisme tertutup, justeru sebagai modal untuk bergerak keluar, bisa melakukan sesuatu ketika memiliki karakter, sikap dan pendirian. (Abdul Mun'im DZ)