Kamis, 06 November 2008

AWAS, PENIS ENVY

Catatan: Tulisan ini dipersembahkan bagi Anda kaum profesional,
 entrepreneur, trainer, birokrat atau apa pun, dengan pertimbangan bahwa
  topik ini bisa mempengaruhi kinerja Anda. 
 
Di hari-hari terakhir ini, kita sama menyaksikan bagaimana berbagai
 stasiun TV dengan hebohnya menyiarkan kasus poligami Syekh Pudji, seorang
 pengusaha kaya raya di kota Semarang yang sekaligus juga seorang tokoh
 agama. Dibanding peristiwa-peristiwa sebelumnya, kasus tersebut
 memang terasa istimewa karena kebetulan yang dikawini adalah seorang anak
 perempuan di bawah umur, yaitu murid SMP berusia 12 tahun. Luar biasa,
 bukan?
 
Seingat saya, isu poligami telah menjadi pergunjingan yang cukup panas
 di kalangan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan
 melibatkan sederet nama besar seperti WS Rendra, Hamzah Haz, Rhoma Irama,
 Puspo Wardoyo, Yusril Ihza Mahendra dan lebih istimewa lagi setelah
 terjadi “skandal” poligami Kiai Haji Abdullah Gymnastiar atau yang kita
 kenal dengan sebutan Aa Gym.
 
Wacana poligami kadang terasa begitu dekat dengan masalah zinah dan
 perselingkuhan. Seorang kiai haji yang juga beken dalam blantika musik
 dangdut, pernah melontarkan alasannya pada publik tatkala ia ketahuan
 oleh pers berpoligami: “Buat saya, menikah lagi itu lebih baik, dari
 pada saya harus berselingkuh yang menyebabkan status saya jadi
 berzinah..”
 
Kita mungkin tidak terlalu heran kalau yang berselingkuh atau
 berpoligami adalah pria yang jelas-jelas “nakal”, “ganjen” atau “mata
 keranjang”. Tapi cukup kerap kita mendengar bahwa beberapa pria
 yang sebelumnya dikenal sebagai “pria baik-baik”, “alim” atau
 “santun”, ternyata harus terperosok juga ke lembah perselingkuhan
 atau poligami.  
 
Yang unik, bila selama ini kita cenderung menuding bahwa poligami
 sepenuhnya merupakan ulah miring kaum lelaki, ternyata ada sebuah referensi
 yang menunjukkan bahwa poligami bisa timbul sebagai akibat dari ulah
 para wanita sendiri, baik yang dilakukan secara sadar atau pun tidak. 
 Terutama sekali pada kasus-kasus yang menimpa para pria “baik-baik”,
 “alim” dan “santun” tersebut. Bagaimana itu bisa terjadi?
 
Saya pernah membaca literatur, tentang apa yang disebut dengan “Penis
 Envy”. Di situ dijelaskan bahwa pada masa kecil, anak-anak
 perempuan banyak yang dihinggapi perasaan kecemburuan setelah mereka
 mengetahui bahwa anak laki-laki memiliki “suatu benda yang menarik” di
 selangkangannya, sementara di selangkangan mereka sendiri, kok, “tidak
 terdapat apa-apa”..?
 
Rasa cemburu itu semakin menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu,….karena benda antik di selangkangan pria seakan telah menjadi
 lambang superioritas kaum lelaki terhadap perempuan. Perlakuan orang tua
 yang sering memberikan kemudahan lebih banyak pada “cah lanang” (anak
 lelaki) daripada “cah wedhok” (anak wanita) pun ikut andil
 menumbuhkan gejala “Penis Envy”. Ada penekanan bahwa kaum lelaki itu
 lebih kuat, lebih hebat, lebih punya kebebasan, lebih pintar dan banyak
 kelebihan lainnya, yang tidak dimiliki kaum wanita.
 
Hal inilah yang kemudian merubah rasa cemburu menjadi “perasaan tidak
 terima”, “keinginan untuk berontak”, “perlawanan terhadap
 dominasi”, bahkan pada kasus yang ekstrim perasaan itu berubah menjadi
 “rasa dendam” kaum wanita terhadap para lelaki.
 
Wanita-wanita modern, lebih-lebih wanita karir, tidak memposisikan
 pasangannya sebagai figur yang kepadanya ia harus mengabdi. Mereka
 menganggap pria yang hidup bersamanya di rumah, hanyalah seorang mitra. 
 Derajat mereka sama, hak dan kewajiban pun setara. Tidak ada yang
 namanya pengabdian satu kepada yang lain.
 
Jadi, menurut wanita-wanita modern ini, adalah hal wajar kalau mereka
 menolak keinginan suami saat mereka sendiri tidak “in the mood”.
  Lumrah pula kalau saat suami sudah ingin beristirahat karena kelelahan
 sepulang kerja, ia sendiri masih senang nonton sinetron gombal di TV. 
 Bahkan, bukan hal yang haram saat suami menanyakan sesuatu dengan
 serius, sang isteri cuek malas menjawab karena sedang BT. Berpaling pun
 tidak.
 
Ini berbeda dengan wanita-wanita tradisional. Para orang tua mereka
 yang sadar tentang bahaya “Penis Envy”, sejak dini telah menanamkan
 bahwa “pengabdian” merupakan hal mutlak yang diperlukan bagi
 kelanggengan sebuah perkawinan. Para isteri telah diajar untuk selalu siap
 melayani segala kebutuhan suaminya, bukan saja saat diminta, tapi
 bahkan sebelum permintaan itu ada. Mereka selalu bertutur kata manis dan
 ramah, berdandan secantik mungkin setiap waktu dan sigap di saat-saat
 kritis mengatasi apa pun masalah rumah tangga yang timbul.
 
Di pihak lain, jauh di dalam jiwa seorang pria, terdapat sebuah
 “mesin pencatat” yang sangat halus dan sensitif. Saking halusnya,
 “mesin” itu bekerja tanpa disadari oleh pemiliknya sendiri. Seorang
 pria yang baik, alim dan santun mungkin tidak bereaksi negatif saat ada
 penolakan. Tidak pula protes kala ia harus tidur sendirian tanpa ada
 perhatian dari sang isteri. Juga tidak tersinggung karena
 pembicaraannya diacuhkan. Ia selalu berfikir positif dan secara logika berusaha
 memaklumi keadaan emosi pasangannya.  
 
Tapi, mesin pencatat selalu bekerja. Sekecil apa pun intensitas
 perilaku negatif yang ditunjukkan sang isteri, mesin imajiner tidak pernah
 gagal membuat catatan tentang hal itu…  
 Satu catatan dibuat, sebuah “gelembung emosi pasif” tercipta. 
 Ketika catatan kedua terjadi, gelembung itu membesar. Demikian seterusnya,
 sampai satu saat, setelah berpuluh-puluh catatan dibuat, gelembung
 emosi pasif telah sangat-sangat membesar.
 
Anehnya, sepanjang tidak ada pemicu dari luar, pria yang sarat dengan
 catatan negatif di alam bawah sadarnya, tetap dalam keadaan semula,
 yaitu baik, alim dan santun. Tidak ada masalah apa pun yang mengganggu
 ketenteraman diri dan keluarganya.
 
Namun suatu saat nanti, ketika sang pria baik ini berjumpa dengan
 seorang wanita yang lebih mampu memberikan “perhatian lebih”, saat itu
 pula gelembung emosi pasifnya pecah, bak balon gas tertusuk duri
 mawar. Meletus, seraya memancarkan energi emosi yang seketika itu juga
 berubah dari pasif menjadi aktif. Suami tidak lagi baik, tidak lagi alim
 dan tidak lagi santun. Ia berubah. Cintanya beralih, yang sangat
 mungkin menyebabkan selingkuh. Dan kalau sudah selingkuh, salah satu
 manifestasi terdekat adalah poligami.
 
Nah, saya berharap bahwa kenyataan di atas dapat menjadi referensi
 alternatif, bahwasanya dalam menyikapi sebuah kasus poligami , barangkali
 kita tidak harus secara subyektif dan serta merta memvonis pihak lelaki
 sebagai biang keladi tunggal. Tanpa ada pretensi membela karena saya
 juga seorang laki-laki, mewaspadai fenomena Penis Envy rasanya cukup
 bijaksana, mengingat dampaknya yang mampu merubah wajah dunia.
 
Poligami hanya sebagian kecil, lebih dari itu kita bisa lihat bagaimana
 munculnya kekuatan-kekuatan dahsyat yang dapat ditengarai berasal dari
 fenomena Penis Envy, seperti kampanye tuntutan emansipasi wanita
 sedunia, gerakan Woman Liberation, serta berbagai aksi para wanita yang
 menggambarkan “pemberontakan” kaum perempuan terhadap dominasi kaum
 pria.  
 
Salahkah semua itu? Saya rasa tidak. Sebab, selain sifatnya sangat
 natural dan manusiawi, banyak produk Penis Envy yang positif bisa kita
 lihat. Tokoh-tokoh perjuangan emansipasi wanita jelas merupakan
 produk langsungnya. Para petinju dan pegulat wanita, profesional wanita,
 birokrat wanita atau astronout wanita masuk dalam kategori ini. 
 Margareth Thatcher dan Benazir Bhutto? Mungkin.
 
Hanya saja sebagaimana hal-hal lain yang ada di dunia ini, yang perlu
 dicermati adalah eksesnya. Ekses Penis Envy tentu tidak kalah
 dahsyat. Para “PATI” (Pria-priA Takut Isteri) adalah contoh gamblang
 korban-korban Penis Envy. Tidak pandang bulu. Mulai dari kalangan
 bawah, sampai para PATI (PerwirA TinggI dan PejAbat TInggi) pun bisa jadi
 korban.
 
Dulu, saat organisasi Dharma Wanita malang melintang di kantor-kantor
 pemerintahan menggunakan fasilitas negara melebihi para PNS nya sendiri,
 saya sudah merasakan bahwa itu semua merupakan perwujudan fenomena
 Penis Envy.
 
Nah, bagi Anda yang melakukan poligami pun, jangan buru-buru merasa
 bangga. Sebab keputusan Anda berpoligami, sudah merupakan pengumuman
 bahwa Anda adalah salah seorang korban Penis Envy. (rh)
 
 
Rusman Hakim
Pengamat Kehidupan
 
 

Pemasangan gypsum dan cor dak keraton



Kami biasa mengerjakan bangunan, renovasi dll

Bersama ini kami tawarkan harga untuk pekerjaan plafond gypsum dan rangka atap baja ringan : 


1. Plafond Gypsum Rangka Hollo Rp. 75.000/m2
2. List Cronice 10 cm Rp. 16.000/m’
  8 cm Rp. 14.500/m’
3. Rangka Atap Rp. 170.000/m2
4. Alumunium Foil 1 sisi Rp. 26.000/m2
5. Cat Plafond Vinilex Rp. 13.500/m2
6. Cat Melamik pintu panel Rp. 450.000/daun
  pintu triplek Rp. 330.000/daun
  kusen dan daun jendela Rp. 70.000/m’
7. Cor dak KERATON Rp. 360.000/m2

 

hub :  Wahyu Ismail Hp.08158019139

Amrozi CS menteror saudara sendiri


Bukannya meminta maaf atas segala kesalahan yang dibuat, Amrozi Cs yang saat ini sedang menunggu eksekusi mengancam sejumlah tokoh yang dianggapnya mendukung proses eksekusi ini, termasuk Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi. Ancaman Amrozi Cs ini dilihat situs http://foznawarabbilkakbah.com/ dengan sejumlah nama yang menjadi target seperti SBY, JK, Andi Matalatta, Hendarman Supandji serta para hakim yang terlibat dalam proses keputusan itu. Nama KH Hasyim Muzadi disebut dalam butir ke empat karena dianggap mendukung eksekusi dan dianggap menjual NU, entah mengapa tiba-tiba Amrozi menyebut-nyebut nama NU, padahal ia jelas-jelas bukan dari kelompok nahdliyyin.


Surat bertanggal 5 Agustus 2008 tersebut dibuat dalam tiga bahasa, Inggris, Indonesia dan Arab, bahkan dalam versi Arab dan Inggrisnya ada tempelan original. Surat yang diklaim asli tersebut ditulis dengan rapi dan dengan tata bahasa Inggris dan Arab yang bagus. Sejak kapan Amrozi Cs bisa berbahasa Arab dan Inggris dengan sedemikian baik, dan tampilan surat yang kelihatan rapi dan mulus tanpa lipatan-lipatan kecil agar bisa dikeluarkan dari penjara dengan penjagaan ketat ini menujukkan bahwa surat ini patut dipertanyakan keasliannya.


Sejauh ini, kantor PBNU, tempat KH Hasyim Muzadi beraktifitas tidak mendapatkan pengamanan yang ketat, hanya terdapat dua orang satpam yang menjalankan tugas di depan. Para tamu juga diizinkan memasuki gedung berlantai 8 ini dengan bebas. Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung yang juga mantan Komantas Satkornas Banser Dr Andi Jamaro Dulung mengaku tidak gusar dengan ancaman ini. "Pak Hasyim cukup dijaga Allah," katanya. (NU Online)