Catatan: Tulisan ini dipersembahkan bagi Anda kaum profesional,
entrepreneur, trainer, birokrat atau apa pun, dengan pertimbangan bahwa
topik ini bisa mempengaruhi kinerja Anda.
Di hari-hari terakhir ini, kita sama menyaksikan bagaimana berbagai
stasiun TV dengan hebohnya menyiarkan kasus poligami Syekh Pudji, seorang
pengusaha kaya raya di kota Semarang yang sekaligus juga seorang tokoh
agama. Dibanding peristiwa-peristiwa sebelumnya, kasus tersebut
memang terasa istimewa karena kebetulan yang dikawini adalah seorang anak
perempuan di bawah umur, yaitu murid SMP berusia 12 tahun. Luar biasa,
bukan?
Seingat saya, isu poligami telah menjadi pergunjingan yang cukup panas
di kalangan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan
melibatkan sederet nama besar seperti WS Rendra, Hamzah Haz, Rhoma Irama,
Puspo Wardoyo, Yusril Ihza Mahendra dan lebih istimewa lagi setelah
terjadi “skandal” poligami Kiai Haji Abdullah Gymnastiar atau yang kita
kenal dengan sebutan Aa Gym.
Wacana poligami kadang terasa begitu dekat dengan masalah zinah dan
perselingkuhan. Seorang kiai haji yang juga beken dalam blantika musik
dangdut, pernah melontarkan alasannya pada publik tatkala ia ketahuan
oleh pers berpoligami: “Buat saya, menikah lagi itu lebih baik, dari
pada saya harus berselingkuh yang menyebabkan status saya jadi
berzinah..”
Kita mungkin tidak terlalu heran kalau yang berselingkuh atau
berpoligami adalah pria yang jelas-jelas “nakal”, “ganjen” atau “mata
keranjang”. Tapi cukup kerap kita mendengar bahwa beberapa pria
yang sebelumnya dikenal sebagai “pria baik-baik”, “alim” atau
“santun”, ternyata harus terperosok juga ke lembah perselingkuhan
atau poligami.
Yang unik, bila selama ini kita cenderung menuding bahwa poligami
sepenuhnya merupakan ulah miring kaum lelaki, ternyata ada sebuah referensi
yang menunjukkan bahwa poligami bisa timbul sebagai akibat dari ulah
para wanita sendiri, baik yang dilakukan secara sadar atau pun tidak.
Terutama sekali pada kasus-kasus yang menimpa para pria “baik-baik”,
“alim” dan “santun” tersebut. Bagaimana itu bisa terjadi?
Saya pernah membaca literatur, tentang apa yang disebut dengan “Penis
Envy”. Di situ dijelaskan bahwa pada masa kecil, anak-anak
perempuan banyak yang dihinggapi perasaan kecemburuan setelah mereka
mengetahui bahwa anak laki-laki memiliki “suatu benda yang menarik” di
selangkangannya, sementara di selangkangan mereka sendiri, kok, “tidak
terdapat apa-apa”..?
Rasa cemburu itu semakin menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu,….karena benda antik di selangkangan pria seakan telah menjadi
lambang superioritas kaum lelaki terhadap perempuan. Perlakuan orang tua
yang sering memberikan kemudahan lebih banyak pada “cah lanang” (anak
lelaki) daripada “cah wedhok” (anak wanita) pun ikut andil
menumbuhkan gejala “Penis Envy”. Ada penekanan bahwa kaum lelaki itu
lebih kuat, lebih hebat, lebih punya kebebasan, lebih pintar dan banyak
kelebihan lainnya, yang tidak dimiliki kaum wanita.
Hal inilah yang kemudian merubah rasa cemburu menjadi “perasaan tidak
terima”, “keinginan untuk berontak”, “perlawanan terhadap
dominasi”, bahkan pada kasus yang ekstrim perasaan itu berubah menjadi
“rasa dendam” kaum wanita terhadap para lelaki.
Wanita-wanita modern, lebih-lebih wanita karir, tidak memposisikan
pasangannya sebagai figur yang kepadanya ia harus mengabdi. Mereka
menganggap pria yang hidup bersamanya di rumah, hanyalah seorang mitra.
Derajat mereka sama, hak dan kewajiban pun setara. Tidak ada yang
namanya pengabdian satu kepada yang lain.
Jadi, menurut wanita-wanita modern ini, adalah hal wajar kalau mereka
menolak keinginan suami saat mereka sendiri tidak “in the mood”.
Lumrah pula kalau saat suami sudah ingin beristirahat karena kelelahan
sepulang kerja, ia sendiri masih senang nonton sinetron gombal di TV.
Bahkan, bukan hal yang haram saat suami menanyakan sesuatu dengan
serius, sang isteri cuek malas menjawab karena sedang BT. Berpaling pun
tidak.
Ini berbeda dengan wanita-wanita tradisional. Para orang tua mereka
yang sadar tentang bahaya “Penis Envy”, sejak dini telah menanamkan
bahwa “pengabdian” merupakan hal mutlak yang diperlukan bagi
kelanggengan sebuah perkawinan. Para isteri telah diajar untuk selalu siap
melayani segala kebutuhan suaminya, bukan saja saat diminta, tapi
bahkan sebelum permintaan itu ada. Mereka selalu bertutur kata manis dan
ramah, berdandan secantik mungkin setiap waktu dan sigap di saat-saat
kritis mengatasi apa pun masalah rumah tangga yang timbul.
Di pihak lain, jauh di dalam jiwa seorang pria, terdapat sebuah
“mesin pencatat” yang sangat halus dan sensitif. Saking halusnya,
“mesin” itu bekerja tanpa disadari oleh pemiliknya sendiri. Seorang
pria yang baik, alim dan santun mungkin tidak bereaksi negatif saat ada
penolakan. Tidak pula protes kala ia harus tidur sendirian tanpa ada
perhatian dari sang isteri. Juga tidak tersinggung karena
pembicaraannya diacuhkan. Ia selalu berfikir positif dan secara logika berusaha
memaklumi keadaan emosi pasangannya.
Tapi, mesin pencatat selalu bekerja. Sekecil apa pun intensitas
perilaku negatif yang ditunjukkan sang isteri, mesin imajiner tidak pernah
gagal membuat catatan tentang hal itu…
Satu catatan dibuat, sebuah “gelembung emosi pasif” tercipta.
Ketika catatan kedua terjadi, gelembung itu membesar. Demikian seterusnya,
sampai satu saat, setelah berpuluh-puluh catatan dibuat, gelembung
emosi pasif telah sangat-sangat membesar.
Anehnya, sepanjang tidak ada pemicu dari luar, pria yang sarat dengan
catatan negatif di alam bawah sadarnya, tetap dalam keadaan semula,
yaitu baik, alim dan santun. Tidak ada masalah apa pun yang mengganggu
ketenteraman diri dan keluarganya.
Namun suatu saat nanti, ketika sang pria baik ini berjumpa dengan
seorang wanita yang lebih mampu memberikan “perhatian lebih”, saat itu
pula gelembung emosi pasifnya pecah, bak balon gas tertusuk duri
mawar. Meletus, seraya memancarkan energi emosi yang seketika itu juga
berubah dari pasif menjadi aktif. Suami tidak lagi baik, tidak lagi alim
dan tidak lagi santun. Ia berubah. Cintanya beralih, yang sangat
mungkin menyebabkan selingkuh. Dan kalau sudah selingkuh, salah satu
manifestasi terdekat adalah poligami.
Nah, saya berharap bahwa kenyataan di atas dapat menjadi referensi
alternatif, bahwasanya dalam menyikapi sebuah kasus poligami , barangkali
kita tidak harus secara subyektif dan serta merta memvonis pihak lelaki
sebagai biang keladi tunggal. Tanpa ada pretensi membela karena saya
juga seorang laki-laki, mewaspadai fenomena Penis Envy rasanya cukup
bijaksana, mengingat dampaknya yang mampu merubah wajah dunia.
Poligami hanya sebagian kecil, lebih dari itu kita bisa lihat bagaimana
munculnya kekuatan-kekuatan dahsyat yang dapat ditengarai berasal dari
fenomena Penis Envy, seperti kampanye tuntutan emansipasi wanita
sedunia, gerakan Woman Liberation, serta berbagai aksi para wanita yang
menggambarkan “pemberontakan” kaum perempuan terhadap dominasi kaum
pria.
Salahkah semua itu? Saya rasa tidak. Sebab, selain sifatnya sangat
natural dan manusiawi, banyak produk Penis Envy yang positif bisa kita
lihat. Tokoh-tokoh perjuangan emansipasi wanita jelas merupakan
produk langsungnya. Para petinju dan pegulat wanita, profesional wanita,
birokrat wanita atau astronout wanita masuk dalam kategori ini.
Margareth Thatcher dan Benazir Bhutto? Mungkin.
Hanya saja sebagaimana hal-hal lain yang ada di dunia ini, yang perlu
dicermati adalah eksesnya. Ekses Penis Envy tentu tidak kalah
dahsyat. Para “PATI” (Pria-priA Takut Isteri) adalah contoh gamblang
korban-korban Penis Envy. Tidak pandang bulu. Mulai dari kalangan
bawah, sampai para PATI (PerwirA TinggI dan PejAbat TInggi) pun bisa jadi
korban.
Dulu, saat organisasi Dharma Wanita malang melintang di kantor-kantor
pemerintahan menggunakan fasilitas negara melebihi para PNS nya sendiri,
saya sudah merasakan bahwa itu semua merupakan perwujudan fenomena
Penis Envy.
Nah, bagi Anda yang melakukan poligami pun, jangan buru-buru merasa
bangga. Sebab keputusan Anda berpoligami, sudah merupakan pengumuman
bahwa Anda adalah salah seorang korban Penis Envy. (rh)
Rusman Hakim
Pengamat Kehidupan
Berpindah alamat
-
Terima kasih Anda telah mengunjungi blog Saya, Sejak 1 Januari 2010
dokumentasi kegiatan training Saya berpindah ke alamat
http://trainerkita.wordpress.com...
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar