Jumat, 02 Januari 2009

SAYID QUTUB DALAM PERSPEKTIF

Sayyid Qutub adalah radikal, ekstrim. Sayyid Qutub adalah Islamis.” Pandangan tersebut disampaikan oleh para peserta diskusan, Mizan Studi Club (Kajian Pemikiran Kontemporer dan Dirasat Islamiyah), pada hari Selasa kemarin, 7 September 1999. Cukup plural diskusan menyampaikan analisanya terhadap pemikiran Syahid Sayyid Qutub (selanjutnya dibaca SQ). Tidak lepas dilatar belakangi dengan khazanah intelektualnya yang ia kuasai, dengan tetap menjaga etika dialog, agar terjadi suatu toleransi berpikir yang kondusif, didorong oleh keinginan untuk mengakomodasi semua pemikiran yang muncul kepermukaan, yang nantinya dapat diinventarisir menajdi sebuah kerangka pemikiran dalam melihat paradigma pemikiran sang syahid.
Telah menjadi omongan semua orang akan kepiawaian SQ dalam memimpin gerakan Ikhwan Muslimun dan, dengan jiwa tinggi berani mengahadapi segala konsekuensinya, meskipun harus dihukum gantung.
Pada kesempatan itu, penulis sampaikan pada rekan-rekan bahwa SQ ialah seorang pemikir besar. Adapun mengapa ia harus masuk pada lingkaran pergerakan, sehingga terkadang orang memasukan SQ pada jajaran Islamis. Penulis tegaskan, karena tidak luput dari latar belakang dimana ia hidup dan bagaimana kondisi sosial pada saat ia hidup.
Dengan menggunakan kaca mata pendekatan sosiologi dan antropologi. Kita dapat meliahat siapakah sebenarnya SQ, sehingga ia cukup “fundamental.”
I). Tempat Kelahiran:
Assiut daerah yang sangat subur bagi pertanian, tanahnya dapat disirami dengan perairan Nil, yang tidak kunjung habisnya, selalu membawa berkah bagi para penduduknya. Suasana alamnya dikelilingi dengan tanaman pertanian. Di daerah tersebut lahirlah seorang bayi yang kelak akan memimpin pergerakan Islam, yang suaranya terdengar dimana-mana, menyerukan pentingnya kembali pada konsep Al-Qur’an dalam berbagai kehidupan. Ayahnya seorang yang kaya raya, suka berdermawan, membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ibunya berpegang teguh pada ajaran Agama, sabar dalam menghadapi hidup yang dijalaninya. Walaupun nanti ibunya harus menerima nasib, semua kekayaan suaminya habis karena dipakai untuk membantu semua orang tanpa memikirkan kepentingan keluarganya. Dengan kekuatan iman, nasib tersebut dapat dihadapi dengan teguh dan penuh kepasrahan pada Sang Maha Kuasa.
II). Perjalanan Hidup:
Putihnya air Nil telah membentuk SQ berhati bersih, ihklash menjalankan semua tanggungjawab yang dipercayakan pada dirinya. Selalu berusaha menjadi orang yang bisa memberikan kesegaran, ketenangan pada orang-orang yang berjiwa “keras,”disatu sisi, kesucian hatinya bisa melahirkan mental yang tangguh menghadapi problema hidup, berani menegakan keadilan walaupun itu harus ditebus dengan sebuah pengorbanan jiwa. Jiwa seperti ini, mempengaruhi dan mewarnai para penerus gerakan Ikhwanul Muslimun.
Indahnya alam kampung halaman SQ memberikan inspirasi untuk mendendangkan syai’ir-sya’ir yang mempunyai nilai sastra tinggi, unsur eksosoris dalam lantunan kata-katanya mendeskripsikan keindahan alam yang ia lihat. Tidaklah heran karya SQ dalam kesusastraan menduduki pada jajaran cukup diperhitungkan. SQ pernah dijuluki sebagai Abbas Al-´Aqad “Muda”, karena kritikus sastranya yang tajam dan menambah wacana kesusastran Mesir menjadi kaya dengan aliran kesusastraannya. Novelnya juga mampu merekam kehidupan sosial dengan begitu jitu, mendiagnosa agenda permasalahan mayarakat dan memberikan solusi bagi pemecahannya. Kisi-kisi romantisme tidak ketinggalan jauh memenuhi karya sastranya. Mampu menyamai dengan romantismenya para pujangga lainnya yang sebaya dengan SQ.
Titisan genelogi ayahnya telah membawa SQ menjelma sebagai orang pembela rakyat kecil, yang tertindas tidak mendapatkan kehidupan sebagaimana mestinya. Feodalisme meraja lela, para tuan tanah dengan seenaknya menguasai bumi pertiwi, tidak sadar bahwa Bumi dan Langit ada yang menguasainya dan memilikinya, Allah semata.
Fenomena komuinitas sosial Mesir pada saat itu mendorong SQ untuk memeras pikiran. Bagaimana memformulasi tatanan kehidupan. Jargon keadilan, di antaranya, digulirkan oleh SQ ke blantika perpolitikan. Konsep kehidupan yang diimpor dari luar tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat malah sebaliknya, kondisi semakin memburuk. Kafitalis, sosialis, komunis tidak membawa udara segar untuk dihirup. “Polusi udaranya” telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka SQ menyerukan pentingnya menghidupkan konsep Islam yang telah lama diabaikan. Padahal sejarah telah membuktikan, umat Islam mampu memimpin peradaban manusia sampai menelorkan kemajuan bagi kelangsungan umat manusia.
Ketabahan dan keteguhan memegang prinsip teraliri juga dari darah ibunya. Penyiksaan demi penyiksaan terus menimpa SQ yang dilancarkan oleh pemerintahan. Keluar masuk penjara adalah aktivitasnya, teroran dari mana-mana adalah sarapan paginya, sampai harus memakan “racun” kehidupan ia telan demi tegaknya “Laa iIaha iIlalLah” di bumi ini.
III). Karya Intelektualnya:
Potret kehidupan SQ bisa dibagi kedalam 4 fase kehidupan. Pada setiap fase SQ mempunyai karya yang telah menunjukan bagaimna perjalanan intelektualnya dipenuhi dengan berkarya demi mewarisi perjalanan hidupnya pada generasi mendatang.
Pertama, fase berkarya dalam kesusastraan (1930-1950):
Merupakan fase pembentukan intelektual yang cukup lama dari fase lainnya. pada masa ini SQ telah mengekspresikan pemikirannya dalam beberapa buku, di antaranya; Muhimmatu’l Sya’ir Fi’l Hayat (1932), al-Naqdu’l Adaby; Ushuluhu wa Manahijuhu (1947), al-Syathi’ al-Majhul (1934), al-Madinah al-Masyhurah, Asywak, al-Athyaf u’l Arba’ah, Thiflun Mina’l Qaryah (1945). Al-Tashwiru’l Fanny fi’l Qur’an (1945), Masyahidu’l Qiyamah fi’l Qur’an.
Kedua, fase yang berorientasi pada kesosialan (1951-1953):
Terformulasilah pemikirannya dalam keadilan, yaitu yang kita dapati dibuku-bukunya; al-´Adalah al-Ijtima’iyah (1951), Ma’rakah al-Islam wa Ra’samaliyah, al-Salam al-Alamy wa’l Islam, Dirasat Islamiyah.
Ketiga, fase intelektual yang terformulasi dalam filsafat (1954-1962):
Karya yang mungkin dikategorikan pada fase ini adalah: Khashaish al-Tashawwur al-Islamy wa Muqawamatuhu, pada akhir tahun 50-an, al-Mustaqbal Lihadza al-Dien, Nahwa Mujtama’ Islamy, Hadza al-Dien dikarang tahun 1954, al-Islam wa Musykilat al-Hadharah.
Keempat, fase berpolitk (1963-1964):
Fase keempat masuk penjara dan terelaborasikan dalam buku momentalnya Ma’alim Fi’l Thariq, Fi Dlilal al Qur’an
IV). Aktualisasi Pemikiran Sayyid Qutub:
Pertanyaan yang akan muncul pada diri kita sekarang, bagaimana mengaktualkan karya-karya SQ kedalam realita yang kita hadapi sekarang. Dalam rangka menghidupkan konsep pemikiran SQ yang tercurahkan dalam penyeruannya terhadap pentingnya kembali pada dasar utama Al-Qur’an.
Permasalahan yang akan timbul juga dibenak pikiran kita ialah, mampukah kita berinteraksi dengan dunia yang semakin komplek, sosial kultural sudah berbeda ketika SQ hidup. Terkadang antara teori dan praktik sering bertentanngan atau sulit mensosialisasikannya ketataran alam nyata. Telah banyak orang menyeru untuk kembali pada Al-Qur’an ternyata sering berbenturan dengan kepentingan lain, atau paling tidak sering dihadapkan pada Das Solen dan Das Sain, yang akhirnya, idealisme terkikis oleh kebutuhan pragmatis.
Kemungkinan yang bisa penulis lontarkan di sini, yaitu mencari metode yang bisa berdialog dengan realita tersebut. Dan dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat, jangan hanya SQ dimilki oleh sebagian kalangan tertentu tidak mampu menyentuh segmen masyarakat lainnya. Padahal mereka juga membutuhkan ide yang telah dilontarkan oleh SQ.
Salah satu metode tersebut adalah, pertama menghidupkan sikap moderat dalam berbagai bidang yang kita hadapi. Skala prioritas menjadi standar tujuan kita, lebih banyak memikirkan kepentingan umum ketimbang kepentingan golongan. Dr. Yusuf al-Qaradhawy sering mendengungkan agar umat Islam jangan terlena dengan kepentingan individual. Kemaslahatan umum dinomor duakan.
Kedua, harus selalu menjadikan pemikiran seseorang sebagai ide untuk merumuskan kembali pemikiran yang disesuaikan dengan kebutuhan jamannya. Inti pemikiran SQ hendaknya dijadikan starting point bagi membangun paradigma berpikir yang komperhensif. SQ mengajak untuk kembali pada Al-Qur’an dalam berpijak. Segala kebijakan yang kita ambil tidak lepas dari semangat moralitas religius.
Ketiga, mengembangkan toleransi berpikir, SQ telah lebih jauh mengajak untuk saling bertoleransi, mengahargai pemikiran orang lain. Berjalan pada konsepsi da’wah “serulah pada jalan Allah dengan hikmah, memberikan contoh baik, memeranginya dengan sebaik-baiknya jalan.” Dalam bahasa Ibn Rusyd, Qadhi wal Qudhat dan seorang filosof muslim yang berhasil mempertemukan antara filsafat dan Agama. Ia mengatakan:“kelompok manusia bisa dibagi pada tida bagian, pertama “Khithabiyun,” kedua kelompok orang “Jadaliyun,” dan ketiga “Burhaniyun.”
Nûn Wa’l Qalam Wama Yasturûn.





NASIB WONG CILIK;
Meni’mati Keadilan Dari Pemimpin Yang Adil
Seorang lelaki tua sedang asyik melahap sebuh “Isy” (makanan khas arab, yang terbuat dari gandum), tanpa ada tambahan ikan lainnya. Raut mukanya menampakan keletihan. Setelah beberapa lama bekerja sampai seharian penuh ia mengadu nasib untuk hidup.
“Isy” dimakan sedikit demi sedikit, sambil ditutupinya oleh bungkusan plastik tempat membawa makanan. Alangkah ni’matnya lelaki tua bangka ini, menyantap makanan.
Fenomena hidup “wong kecil” sering dijadikan thema dalam berbagai pertemuan. Hampir seluruh forum diskusi tentang sosial, selalu mengangkat kemisikinan. Entah sampai kapan kemiskinan akan berakhir. Kertas kerja shimposium telah menumpuk, dan memenuhi benak pemikiran mereka, hanya mendiskusikan saja tanpa mencari penerapan lebih konkrit. Bersentuhan langsung dengna kehidupan “wong cilik”.
Semenjal awal Rasulullah memberantas kemiskikanan, yang cukup menonjol di masyarakat Makkah. Golongan aristokrat mendominasi tatanan kehidupan. Sehingga, tidak heran, perilaku kehidupan Rasulullah banyak mencerminkan hidup sederhana. Untuk mengangkat martabat orang miskin, Islam memberikan sugesti bagi mereka, bahwa dihadapan Allah seluruh manusia sama, kecuali orang-ornag bertakwa.
Nilai takwa inilah, yang akhirnya menjadi pemicu semangat kaum muslimin, dan memberi warning bagi kalangan kaya. Harta kekaayaan maupun labelitas keduniaan lainnya tidak bisa dijadikan standar ukuran bagi kemuliaan.
***
Potret kehidupan tadi adalah salah satu pemandangan kehidupan yang penulis temui disela-sela berjalan, bersilaturahmi dengan orang-orang yang “terlupkan.” Mereka hanya bisa mempertahankan hidup saja, tanpa punya kemampuan mengembangkan dalam kehidupan lain, karena semua aspek sektoral telah dimonopoli oleh yang lebih berkuasa.
Permasalahaannya berarti, dikarenakan pemetaan hasil negara kurang terwujudkan. Siklus produktifitas kekayaan berada ditangan-tangan pembesar. Yang tidak peduli dengan orang lain, yang penting dirinya bahagia.
Seseorang berkata sama penulis:”Sampai kapan kehidupan keadilan dapat dini’mati lagi oleh kami, yang hanya makan pagi, makan sore adalah cerita lain lagi. Puasa Senin Kamispun kami harus jalani, tetapi memang kami menemukan mutiara yang berharga bagi kami untuk kelak menjadi saksi di hadapan Sang Rabbul Izzati,” Penulis sempat tersentak dan terenyuh dengan pernyataannya yang bernadakan mengeluh serta penuh kebahagaian yang menjamin kehidupan di akhir kelak.
Penulis ingat pada kehidupan Khalifah Umar bin Khattab, sebagai pemimpin adil dan bijaksana. Berani menegakkan keadilan diatas segalanya. Pada suatu saat Khalifah dihampiri oleh seorang rakyatnya, ternyata sang Khalifah sedang tertidur dibawah hamparan rerumputan. Khalifah kelihatan tidur pulas dan bisa meni’mati dunia ibu pertiwi. Orang tersebut berkata pada Khalifah:”Bagaimana kamu bisa tidur nyenyak seperti ini ? Umar mnejawab karena aku telah menjalankan tugasku menegakkan keadilan, rakyat dapat mencicipi rasanya keadilan.” Hanya pemimpin adil yang dapat membagi keni’matan kepada rakyatnya.
Allah Rahimun Biubadihi.
Rahmat T. Ashari
Mîzân Studî Club
(Kelompok Kajian Pemikiran Kontemporer dan Dirâsât Islâmiyah)

Tidak ada komentar: